Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menuai kontroversi. Sejak dibahas pada tahun 2018 banyak suara mencuat dari masyarakat, ada yang pro dan tidak sedikit pula yang kontra. Pihak pro berpendapat bahwa RUU PKS harus segera disahkan mengingat Indonesia saat ini dalam situasi darurat kekerasan seksual. Sementara itu, pihak kontra menganggap substansi RUU PKS mendukung perzinahan, mengamini praktik aborsi dan melanggengkan Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender (LGBT).
Perdebatan pihak pro dan kontra RUU PKS semakin hari semakin alot. Kedua belah pihak mempunyai metode masing-masing untuk menggalang suara. Kubu kontra menyebar petisi online penolakan RUU PKS dengan dalih moralitas, agama dan keutuhan keluarga. Sementara kubu pro lebih memilih untuk membangun narasi ilmiah dengan paper, esai dan policy brief yang memuat fakta lapangan kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia. Fakta lapangan tersebut lantas digunakan sebagai justifikasi mendorong pengesahan RUU PKS.
Kegaduhan terkait RUU PKS ini tentunya menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat yang belum menentukan keberpihakannya (pro atau kontra). Sebenarnya apa itu kekerasan seksual? Sedarurat apa situasi Negara ini sehingga RUU PKS harus segera disahkan? Apakah peraturan yang sudah ada belum cukup untuk mengahapuskan kekerasan seksual? Dan yang terpenting, sejauh mana komitmen RUU PKS dalam memenuhi hak-hak korban?