Birokrasi merupakan elemen penting dalam penegakan hak asasi manusia (HAM) dan menjadi salah satu pilar dalam tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Sejak Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 dicanangkan, mulai terjaditransformasi paradigmatik dalam pelayanan publik. Transformasi paradigmatik ini mensyaratkan adanya proses internalisasi HAM dalam penyelenggaraan pemerintahan. Lebih jauh, transformasi birokrasi sebagai elemen eksekutorial regulasi di tingkat nasional sekaligus institusi yang langsung bersentuhan dengan masyarakat, dituntut untuk memberikan akses seluas-luasnya dalam rangka pemenuhan HAM. Birokrasi harus mengubah wajah patrimonialnya menjadi lembaga yang hadir sebagai penyedia layanan (public service) bagi masyarakat. Transformasi tersebut semestinya turut mengubah wajah manusia di dalam lembaga birokrasi. Penyelenggaraan pemerintahan sebagai substansi dalam birokrasi semestinya bekerja dengan berdasarkan pada prinsip-prinsip HAM, yang meliputi partisipasi dan inklusif, akuntabilitas dan rule of law, persamaan dan non-diskriminatif (UNDP, 2010) karena akan menunjukkan sejauh apa komitmen Negara terhadap perlindungan HAM. Proses internalisasi HAM yang tidak hanya dalam konteks kerangka kebijakan, namun juga tercermin dalam paradigma aktor-aktor birokrasi merupakan hal yang esensial. Oleh sebab itu, mengetahui pandangan aktor-aktor birokrat merupakan dimensi yang penting untuk melihat sejauhmana proses internalisasi HAM berlangsung di level kelembagaan dan seperti apa bentuk tranformasi yang terjadi. Berdasarkan alasan di atas, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) melakukan penelitian mengenai ihwal sejauh apa pemahaman para birokrasi mengenai HAM. Penelitian ini dilakukan di Aceh, Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur dengan mewawancarai sejumlah aktor di beberapa lembaga birokrasi tingkat provisi1 tentang bagaimana aktor birokrasi memahami HAM dalam kerumitan dan kontekstualitas persoalan yang dihadapi di wilayah mereka masing-masing. Penelitian ini berangkat dari hipotesis bahwa birokrasi mereproduksi siklus, meminjam istilah Daniel Dhakidae, subordinasi dan orientasi sehingga aktor birokrasi menundukkan diri terhadap struktur normatif birokrasi dan melakukan penyesuaian diri terhadap fungsi serta karakter birokrasi. Relasi ini berimplikasi pada hubungan yang resiprokal antara rasionalisasi yang dibangun oleh aktor birokrasi mengenai HAM dengan arah kebijakan yang dihasilkan oleh institusi birokrasi. Paradigma yang dibangun aktor birokrasi, dengan demikian, merepresentasikan corak regulasi birokratis. Sebaliknya, corak regulasi birokratis mendapatkan status quo dari reproduksi paradigma yang dibangun oleh aktor birokrasi. Seperti sebuah kerangkeng besi, sebagaimana dikatakan Max Weber, menjadi sulit bagi manusia birokrasi untuk keluar dari sistem pengetahuan yang telah digariskan oleh institusi birokrasi.

untuk membaca lebih lanjut, klik unduh