Tanggungjawab Negara pada pemenuhan hak asasi manusia (HAM) tidak cukup hanya dilihat dari sejauhmana dokumen kebijakan telah merepresentasikan komitmen Negara melalui penetapan program kerja berperspektif HAM. Performa, adaptabilitas, dan stabilitas dalam implementasi kebijakan merupakan salah satu kunci untuk melihat sejauhmana isu HAM telah direspons secara kritis oleh lembaga (UNDP, 2011). Sebagai institusi pelaksana, tantangan dalam pelaksanaan dokumen kebijakan sebagaimana tercantum dalam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional/Daerah (RPJMN/D), dapat diketahui lewat pengalaman birokrasi. Peran birokrasi sangat penting artinya bagi pemenuhan HAM karena institusi ini menjadi representasi Negara di tengah-tengah masyarakat lewat kerja-kerja pelayanan publik. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) melakukan penelitian di tiga wilayah yaitu Aceh, Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur untuk mengetahui tantangan apa saja yang dihadapi oleh birokrasi dalam implementasi program kerja, sebagaimana yang terumus dalam RPJMD. Selain itu, penelitian ini juga melihat sejauh apa tanggungjawab satuan-satuan kerja pemerintah daerah (SKPD) dalam melaksanakan mandat pembentukan (RANHAM) di ketiga daerah tersebut. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan diskusi terfokus dengan melibatkan sejumlah eksponen pemerintah, baik daerah maupun pusat. Selain itu, juga dilakukan studi literatur untuk melengkapi data-data temuan yang telah ada. ELSAM menilai bahwa ketidakmampuan birokrasi merespon isu-isu HAM karena daya adaptabilitas dan fleksibilitas program kerja yang telah ditetapkan tidak mampu mengikuti perkembangan kondisi di masyarakat. Di lapangan, tim peneliti ELSAM menemukan bahwa implementasi program kerja setidaknya terhambat oleh komposisi anggaran yang tidak representatif, sumber daya yang tidak mendukung, dan orientasi pembentukan program kerja yang tidak mencerminkan persoalan riil HAM.
untuk membaca lebih lanjut, klik unduh