Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tersebut bukan hanya bertentangan dengan hak asasi manusia, melainkan juga telah menabrak konstitusi negara, UUD 1945.
Menjadi hak setiap umat beragama untuk menjalankan aktivitas keagamaannya, termasuk membangun rumah ibadatnya. Negara atau pemerintah tidak boleh mengintervensi terlalu jauh hingga mengatur pendirian rumah-rumah ibadat. Negara boleh saja mengintervensi sekiranya pendirian rumah ibadah tersebut melanggar UU Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Tata Ruang. Dalam pasal 24 ayat 1 dan 2 undang-undang itu disebutkan: (1) negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah, (2) pelaksanaan penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 memberikan wewenang kepada pemerintah untuk mengatur dan menyelenggarakan penataan ruang serta mengatur tugas dan kewajiban instansi pemerintah dalam penataan ruang. Kepada undang-undang inilah semestinya pemerintah mengacu perihal pembangunan rumah ibadat.
Dalam kaitan dengan pendirian rumah ibadat itu, secara lebih spesifik, pendirian rumah ibadat tidak usah dibedakan dengan pendirian sekolah. Sebagaimana mendirikan sekolah, mendirikan rumah ibadat cukup dengan adanya lokasi atau tanah yang dimiliki secara sah serta tidak melanggar konsep tata ruang yang disepakati. Mendirikan rumah ibadat sama belaka dengan mendirikan sekolah. Sekiranya semua agama memang benar mengajarkan doktrin cinta kasih, damai, dan antikekerasan, bejibun dan banyaknya rumah ibadat bukanlah ancaman, melainkan justru amat baik, karena perdamaian akan kian tersebar di bumi. Kecuali kalau agama memang hendak diposisikan sebagai penebar kekerasan, sehingga perlu ada pengetatan terhadap gerak langkah umat beragama.