Di penghujung tahun 2011 yang berlanjut sampai dengan Maret 2012, aksi buruh menuntut upah layak marak di beberapa kota di Indonesia. Di Jakarta, Semarang, Bandung, dan Batam, ribuan buruh turun ke jalan berkali-kali. Di sisi lain, Surabaya yang sering dijadikan barometer gerakan buruh, terlihat tenang paska putusan UMK 2012. Konsolidasi aksi lima puluhan ribu massa buruh lintas serikat di tahun 2006, sebagai penanda bangkitnya lagi konsolidasi gerakan buruh seolah “minggir” sejenak saat kota-kota lain sedang riuh akan demonstrasi buruh. Apakah gerakan buruh di Surabaya mengalami kelesuan? Tidak. Kejutan menarik terjadi ketika Gubernur Jawa Timur menetapkan besaran Upah Minimum Kota (UMK) Surabaya tahun 2012 berdasar 100% hasil survey KHL atas usulan Walikota Surabaya, Tri Risma Harini. Penetapan ini merupakan pengalaman pertama kali sejak disahkannya Permenaker No. 17 tahun 2005. Walikota Risma mengajukan usul UMK berdasar masukan dari DPK Surabaya.

Walikota Risma berperan mengusulkan angka UMK yang diperoleh dari DPK tersebut ke Gubernur untuk memperoleh penetapan. Pertarungan mempertahankan kepentingan di unsur pemodal, buruh dan pemerintah terjadi di kedua level tersebut. Meskipun Gubernur adalah pengetok palu akhir UMK se-provinsi, namun ia selalu harus meminta pertimbangan dan usulan dari Walikota. Walikota Risma berani mengusulkan pertama kali ke Gubernur angka UMK Surabaya sebesar Rp. 1.257.000,00, meskipun unsur pengusaha/APINDO menolaknya di Dewan Pengupahan. Keberanian tersebut perlu diapresiasi mengingat Surabaya selalu dijadikan barometer dalam penentuan UMK di wilayah ring I Jawa Timur (Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, Kota dan Kabupaten Pasuruan, Kota Malang dan Kabupaten Malang).

Artikel ini menjelaskan tentang sikap walikota Risma dalam mengambil Kebijakan Pengupahan di Surabaya