Dalam proses penyusunan peraturan perundangan (peraturan daerah/perda) secara partisipatif, masyarakat dapat terlibat dari mulai penelitian dan penyusunan naskah akademik, sampai dalam proses legislasi di parlemen (DPR-D). Lebih dari itu, tidak memungkinkan lagi bagi masyarakat untuk terlibat. Tahapan terakhir proses legislasi tersebut adalah sebuah black box, yaitu proses pengajuan draft raperda untuk dibahas dalam sidang paripurna sampai penulisannya dalam lembaran daerah. Pada tahapan ini, proses bersifat politis dan sangat menentukan nasib dari peraturan yang diajukan tersebut.
Pada setiap tahapan legislasi sangat berpotensi untuk terjadinya penyimpangan substansi perda. Penyimpangan substansi ini terkait dengan kepentingan stakeholder yang berbeda terhadap peraturan yang sedang disusun, baik yang pro maupun yang kontra. Namun dengan ketelitian, argumen dan pendekatan yang baik dan rasional pada saat pembahasan, biasanya penyimpangan tersebut dapat dihalangi dan dikembalikan pada substansi yang benar.
Tulisan ini dibuat untuk menunjukan bahwa ketiadaan ruang yang jelas bagi partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan peraturan daerah akan memperbesar resiko adanya penyimpangan substansi yang diusulkan.