Peran rakyat dalam arena publik tidak dapat dihindarkan dari konfrontasinya dengan peran negara.Konfrontasi tersebut tidak bisa dilepaskan dari siklus politik-ekonomi (dan ideologi)
yang berkembang. Pentingnya mendiskusikan isu ini, terutama pada dekade terakhir, erat terkait dengan wacana demokrasi yang bersifat dinamis.

Di Indonesia, wacana tersebut acap berhenti pada tataran konseptual atau jargon saja, oleh karena tradisi yang berkembang adalah tradisi antidemokrasi, di mana kekuasaan ditegakkan di atas kekerasan politik. Pembatasan terhadap pluralisme politik, kompetisi yang tidak fair untuk kepentingan penguasa, dan juga absennya kesetaraan dalam politik telah berlangsung lama sehingga melahirkan budaya otoritarianisme. Orde Baru dengan kebijakan politik ’masa mengambang’nya (floating mass) telah efektif memarjinalisasi partisipasi
masyarakat. Argumennya adalah masyarakat perlu dilindungi dari konflik politik dan ideologis yang bakal memecah belah solidaritas tradisional mereka. Keberhasilan negara di bawah orde baru dalam mempelopori proses restrukturisasi sosial, ekonomi dan politik, telah menempatkannya sebagai kekuatan dominan yang nyaris tanpa interupsi.

Untuk melawan itulah apa yang dilakukan orde baru itu, diperlukanlah pengorganisiran masa. Ini karna keterlibatan rakyat relatif lebih mudah dan posisinya lebih kuat ketika mereka terorganisir dalam satuan institusi sosial.Karena dalam kondisi yang terorganisir, maka di satu sisi komunikasi sosial lebih manageable, dan pada sisi yang lain posisi tawar publik pun relatif lebih kuat. Karenanya, mapannya institusi-institusi sosial tersebut, kekuatan-kekuatan individual dapat terakumulasi menjadi kekuatan publik secara kolektif, begitu juga biaya-biaya individual dapat ditanggung secara kolektif.

Artikel ini menjelaskan tentang penguatan organisasi Rakyat dalam upaya merebut hak yang terampas