Tulisan ini menceritakan tentang diskriminasi yang dialami oleh etnis Tiongha yang dilakukan oleh orde baru yang  dimulai dari Atas “perintah” Jenderal Nasution, pada 7-10 Mei 1966. Saat itu KENSI menyelenggarakan Konperensi Ekonomi Nasional. Di dalam konperensi tersebut,mantan Menteri Perdagangan Rachmat Muljomiseno mengatakan, “Adalah hak saudara sebagai tuan rumah untuk mempersilahkan tamu duduk di ruang tamu. Tamu yang baik akan menyesuaikan diri dengan keadaan dan kebiasaan tuan rumah. Memang tamu itu bisa menjadi sahabat, bahkan mungkin sahabat karib. Sekalipun demikian yang perlu dijaga adalah kehormatan tuan rumah sendiri. Jangan sampai sahabat masuk ke ruang istirahat saudara, apalagi turut menanak nasi di dapur saudara.” Konperensi juga menuntu peningkatan bahwa larangan berdagang orang asing bukan hanya di pedesaan tetapi sampai di tingkat kabupaten.

Bukan itu saja pada  25-31 Agustus 1966, Keputusan Seminar Angkatan Darat ke-2 yang kemudian ditindaklanjuti pemerintah Orde Baru dengan mengeluarkan Surat Edaran Presidium Kabinet RI. No SE-6/PresKab/6/1967 tanggal 20 Juni 1967 yang berisi instruksi untuk mengganti sebutan Republik Rakyat Tiongkok dan orang Tionghoa menjadi Republik Rakyat Cina dan orang Cina. Hal ini merupakan sebuah strategi untuk menciptakan inferioritas di kalangan Tionghoa yang notabene sejak kerusuhan Mei 1963 berdiri di belakang garis politik Sukarno.

Bahkan posisi Angkatan Darat yang makin kuat menimbulkan kencenderungan penguasa-penguasa militer di daerah-daerah untuk menentukan kebijaksanaannya sendiri-sendiri yang sangat anti Tionghoa dan bertentangan dengan kebijaksanaan Pemerintah Pusat. Seluruh perayaan tradisi dan keagamaan etnis Tionghoa termasuk tahun Baru Imlek, Capgomeh, Pehcun dan sebagainya dilarang dirayakan secara terbuka. Demikian juga tarian-tarian barongsai (tarian singa) dan lang-liong(tarian naga) dilarang dipertunjukkan dan beberapa diskriminasi lain