Pada masa rejim Orde Baru, desa dimaknasi sebagai konsep administratif, oleh karna itu desa terletak di bawah struktur pemerintahan kecamatan. Kepala desa dan dewan desa bertanggungjawab kepada pemerintah supra desa, bukan kepada warga, sehingga desa lebih merupakan kepanjangan tangan dari birokrasi pemerintah pusat.
Pada masa reformasi, dalam kerangka desentralisasi politik dan demokratisasi maka ketentuan tentang pemerintahan desa disesuaikan dengan keanekaan kekhasan sosial, budaya dan ekonomi desa. Namun demikian, tidak semudah itu menerapkan konsep-konsep ideal demokrasi sesuai dengan UU No. 22/1979. Seperti disampaikan di muka, keberagaman latar belakang sosial, budaya dan ekonomi di daerah-daerah di Indonesia menjadikan corak kelembagaan pemerintah desa pun menjadi beragam. UU No. 22/1999, yang substansinya mendukung keanekaragaman dalam masyarakat desa, ironisnya, tetap ‘menyeragamkan’ struktur pemerintahan desa. Dalam prakteknya, konsep pemerintahan desa yang diperbarui oleh UU ini ‘dipertemukan’ dengan sisa-sisa pola patron-klien di kalangan masyarakat desa, yang terbentuk pada masa Orde Baru. Akhirnya pada masa reformasi ini, solusi terhadap praktek demokrasi yang hanya terjadi di tingkat prosedural artinya demokrasi hanya sebatas aspek prosedur, namun tidak diikuti oleh proses politik yang mencerminkan perilaku atau budaya demokratis.
Artikel ini menjelaskan tentang arah demokrasi desa kedepan.