Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak (Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the sale of children, child prostitution and child pornography/OPSC) adalah suatu instrumen yang menetapkan hak-hak tambahan dan kewajiban-kewajiban dari Konvensi Hak-Hak Anak.  Protokol Opsional ini telah disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 25 Mei 2000 demi memastikan perlindungan anak terutama dari penjualan anak, prostitusi anak, dan pornografi anak. Setiap protokol opsional harus diratifikasi secara independen oleh setiap negara pihak.

Menurut catatan Bareskrim POLRI dari tahun 2004 sampai dengan November 2009, jumlah korban trafficking anak di Indonesia mengalami peningkatan hingga tahun 2009.  Pada tahun 2004, jumlah anak yang menjadi korbantrafficking adalah 10, kemudian meningkat menjadi 18 anak pada tahun 2005, kemudian menginjak tahun 2006 dan 2007 jumlah tersebut mengalami peningkatan yang signifikan menjadi 129 anak pada tahun 2006 dan 240 anak pada tahun 2007. [2] Namun, data yang disajikan di atas belum bisa menggambarkan representasi jumlah yang sesungguhnya terjadi di masyarakat karena banyak faktor yang mempengaruhi sulitnya mengetahui jumlah korban traffickingsesungguhnya.  Selain itu, pada tahun 2009, Komnas Perlindungan Anak telah mencatat tindak kekerasan terhadap anak di Sekolah yang mencapai 382 anak baik laki-laki maupun perempuan.   Jenis kekerasan yang terjadi meliputi tiga (3) jenis yakni fisik, seksual dan psikis.

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak ini dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1996. Pada tanggal 24 September 2001, Indonesia ikut menandatangani Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak.  Namun, Indonesia baru meratifikasi Protokol Opsional tersebut setelah 11 tahun menandatanganinya, yaitu pada tahun 2012 dengan UU No. 10 Tahun 2012 tentang Pengesahan Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak.  Indonesia merupakan negara ke 148 yang meratifikasi protokol opsional tersebut.

Dengan meratifikasi protokol opsional ini, Indonesia dapat memperkuat kerja sama internasional untuk membantu anak-anak yang menjadi korban, serta untuk mengatasi akar masalah, seperti kemiskinan dan ketidakberdayaan yang melandasi kerentanan anak-anak terhadap terjadinya penjualan anak-anak, prostitusi anak, dan pornografi anak.  Indonesia juga memilikki kewajiban untuk melapor kepada Komite Hak Anak dimulai dari tahun 2015 mendatang.